Sensitivitas..

mato aia“Kalau bagi anak-anak sekarang langit itu putih, berlainan dengan kita dahulu, langit itu biru..” ujar Saidi Palindih pada kami tatkala sedang tegak-tegak dibhadapan kantor.

Kami hanya tersenyum karena dalam hati kami berfikir apabila Musim Kabut Asap ini telah usai tentulah langit biru akan kembali dapat kami nikmati. Namun muncul pula pertanyaan dalam hati kami “Bilakah masanya itu, ini sudah lebih pula tiga bulan? Bukankah satu musim itu tiga bulan?”

Memanglah tak ada kepastian, bahkan pada beberapa wilayah di propinsi kami ini juga terjadi pula api memakan rimba. Di situ terkadang kami merasa sedih, sebab beberapa bulan sebelumnya kami dapati – tatkala kabut asap sudah termasuk ke dalam keadaan pekat – beberapa orang membakar jerami di sawah mereka. Tanpa ada rasa segan sedikitpun. Dan inipun rimba nan hendak dijadikan kebun..

Itu nan tak ada pada masa sekarang, raso (rasa) – sensitivitas, bahasa kaum intelek – karena ada raso maka ada segan. Akan berbuah kepada kearifan dan bermuara kepada sifat bijak. Selalu dirangkaikan orang arif-bijak, dua kata nan tak dapat dipisahkan.

Bahkan beberapa hari ini, perak jiran di samping rumah orang tua kami juga ikut menyumbangkan asap. Walau sebenarnya tak seberapa pengaruhnya karena nan merasakan orang-orang di sekitar saja. Namun cukup untuk menambah kepedihan di hidung ini.

Sebenarnya orang tua kami juga ikut meunggun belukar dan dibersihkan di perak limau (kebun jeruk) belakang rumah. Kami coba ingatkan sebagai seorang anak, “Walau sedikit tetapi menambah jua, segan kita..”

Terkenang kami pada salah satu hadis nabi “Berhematlah dalam menggunakan air dikala engkau berwudhu, walaupun engkau berada di dekat sumber air sekalipun..”

Hadis tersebut mengajarkan kita untuk dapat bersikap arif nan bijak, bertenggang rasa. Dikala diberi kelebihan jangan lupa bersyukur karena di negeri nun jauh di sana air sangat susah didapat. Selain itu kita juga diajarkan untuk menghargai rezki nan ada, jangan lupa diri, lupa daratan kata orang sekarang.

Sebenarnya nan ditanamkan oleh nabi kita kepada umatnya itu ialah “raso”. Sama pula dengan sekarang, sudahlah terjatuh, disengaja pula menimpakan tangga kepada diri sendiri. Apakah itu namanya?

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.