Wabah itu bernama Pembangunan

Pict: Wikipedia

Kerajaan Variacan merupakan sebuah kerajaan yang berada di pesisir sebuah pulau besar. Kerajaan ini merupakan anggota Federasi dari beberapa kerajaan yang terdapat di pulau besar itu. Dipimpin oleh seorang Sultan yang pada masa sekarang Sultan yang memerintah bergelar Sultan Mancayo. Sebagai Sultan, beliau tidak berkuasa penuh, karena dibawah sultan terdapat Majelis Tuanku Nan Barlima yang merupakan pucuk pemimpin dari lima negeri yang membentuk Kerajaan tersebut. Kelima Tuanku inilah yang memilih dan mengangkat Sultan.

Beberapa tahun nan lalu datanglah saudagar besar dari Pulau Seberang. Konon kabarnya, kekayaan saudagar ini melebihi kekayan dari Prabu (demikian sebutan raja disana) di pulau itu. Adapun Kerajaan Variacan sendiri menjadi jajahan dari Kerajaan ini sejak puluhan tahun nan silam. Namun hubungan baik dengan Yang Dipertuan yang merupakan pengetua dari federasi, raja dari segala raja di Jazirah Pulau Pulau itu tetap terjalin baik. Hubungan ini dapat bertahan karena seluruh penduduk negeri memiliki asal usul yang sama. Dan ‘ranji’ atau silsilah raja saling bertemu.

Wakil Prabu yang diletakkan oleh penjajah di Variacan menekankan pentingnya urusan yang dibawa Sang Saudagar. Perintah dari Prabu dan Maha Mantri sangat jelas “Sultan dan seluruh Orang Besar mesti mendukung dan melancarkan kepentingan para Saudagar Kuta Prabu” demikian mereka dinamai Kuta Prabu, karena berasal dari lingkar utama raja di ibu negeri kerajaan mereka. Dan kesemua saudagar ini ialah Orang-orang Di Atas Angin.

Sultan yang memerintah merupakan seorang yang lemah kepribadian, demikian pula para Orang Besar (pejabat tinggi) mereka ialah orang-orang yang tak memiliki tujuan hidup selain memuaskan hasrat duniawi dan meniru adat resam para penjajah. Susunan masyarakat telah banyak yang rusak, hanya sedikit dari para pemimpin yang dapat dijadikan teladan.

Tuanku Yang Berlima terdiri dari Tuanku Bandar, Tuanku Si Gelang, Tuanku Teratak Dalam, Tuanku Aur Berduri, dan Tuanku Rimba Alam. Masing-masing mereka dipilih oleh para pembesar yang bernama Orang Kaya yang bilangannya pada masing-masing wilayah berbeda-beda, masing-masing orang kaya membawahi wilayah yang bernama Laras. Masing-masing Orang Kaya dipilih pula oleh para penghulu yang dipanggil datuk yang jumlahnya tidak pula seragam tiap negeri. Adapun para penghulu dipilih oleh kemenakan mereka, mereka ialah senator yang menjalan fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam Kampung. Kampung sendiri merupakan unit federasi terendah.

Kampung tergabung dalam federasi yang bernama Laras, kemudian Laras membentuk federasi yang bernama Negeri. Dan negeri membentuk federasi yang bernama kerajaan. Demikianlah sistem tata negara yang berlaku, tidak hanya di Kesultanan Variacan melainkan di seluruh wilayah persyarikatan (federasi) yang kemudian membentuk Kemaharajaan yang dipimpin oleh Yang Dipertuan yang bersemayam di pedalaman pulau.

Selain para penguasa wilayah juga terdapat beberapa Kaum Cerdik Cendikia yang menjadi guru bagi semua kalangan. Mereka ialah orang Arif Bijaksana dan para Tuanku Imam. Arif Bijaksana ialah orang-orang yang memiliki pengetahuan luas dan mendapat hikmah dari setiap pengetahuan yang dimilikinya, mereka dipanggil Saidi atau Sidi. Tuanku Imam ialah para ahli agama yang memiliki hikmah dari semua ilmu kehidupan, mereka dipanggil Tuan Syeikh atau Tuanku Imam. Fungsi mereka melakat pada kepenghuluan. Setiap penghulu disyaratkan memiliki ilmu dari kedua guru ini, sebelum dipilih mereka akan diuji dahulu oleh kemenakan dan saudara-saudaranya.

Saudagar Kuta Prabu memilih wilayah Tuanku Bandar dan Tuanku Teratak Aur Berduri untuk mereka jadikan kawasan perniagaan. Akan dibangun kilang, labuh raya, dan berbagai bangunan yang akan menunjang usaha mereka dalam menambang kekayaan di Kerajaan Variacan. Secara resmi mereka berkata “Kami akan melakukan Pembangunan di Kerajaan tuan”. Sultan Mancayo tidak memiliki pilihan lain selain mengizinkannya, walau dikerajaannya rakyat dapat menegur apabila seorang pemimpin berbuat salah seperti kata pepatah mereka “Raja Adil Raja Disembah, Raja Lalim Raja Disanggah” namun tidak demikian dengan adat yang berlaku di kerajaan asal Sang Penjajah. Sang Prabu ialah pemimpin tertinggi dan ucapannya ialah Undang Undang. Menolak maka akan dituduh pemberontak, akan segera dihabisi. Malangnya, Sang Prabu dikendalikan oleh Maha Mantri dan klannya, Prabu hanyalah boneka belaka karena kekuasaan Maha Mantri tak hanya di Ketentaraan, melainkan juga Badan Rahasia Kerajaan, Kehakiman, dan lain-lain.

Beberapa orang Sidi dan Syeikh di Variacan yang memahami makna tersembunyi dari ini semua berusaha memberi ingat kepada Sultan dan orang besar namun pendapat mereka diremehkan dan dianggap angin lalu. Akhirnya mereka mengirim utusan kepada Yang Dipertuan di pedalaman pulau. Yang Dipertuan dan orang besar disana juga tidak dapat berbuat apa-apa. Karena dalam hal ketentaraan dan kelengkapan persenjataan, mereka kalah jauh. Mereka hanya berpesan “Kita terpegang pisau matanya, mereka terpegang pisau di gagangnya. Kalau berpindah duduk tetap di tikar yang sehelai, kalau berpindah tegak tetap ditanah yang sebingkah”

Memanglah keadaan telah berbeda, kalau dipaksa jua maka seluruh Kerajaan dalam persyarikatan Kerajaan di pulau ini akan menanggung akibatnya. Hal mana pernah mereka lakukan dahulu dalam menjaga marwah negeri mereka. Akibatnya banyak terjadi pembantaian dan pemerkosaan terhadap kaum perempuan di kerajaan mereka. Ibarat kata pepatah “Belajar ke yang menang, mengambil contoh ke yang sudah” Maka kini mereka tidak lagi dapat melakukan pendekatan militer. Karena hasilnya sudah dapat diterka.

Maka mulailah para saudagar Atas Angin ini mendatangkan orang-orangnya untuk membangun kilang, gedung, dan jalan untuk keperluan mereka menambang kekayaan alam di Variacan. Termasuk para kuli yang katanya lebih cerdik dari orang-orang Melayu di Variacan. Kuli-kuli ini mereka datangkan dari Negeri Di Atas Angin, tatkala disergah maka Maha Mantri langsung turun tangan “Para kuli dari Negeri Atas Angin jauh lebih pandai dari kuli di kerajaan ini” Singkat kata “Kalian Bodoh..” demikianlah yang hendak disampaikan Sang Maha Mantri.

Namun mereka juga membagi borongan kepada saudagar-saudagar Melayu yang ada di kerajaan. Borongan memasok berbagai keperluan untuk pekerjaan mereka dalam menambang. Maka senanglah hati Saudagar Melayu yang tergila-gila dengan keuntungan sehingga menggadaikan harga dirinya. Malangnya tak hanya saudagar, para pegawai yang bekerja di kerajaan juga banyak yang mengambil kesempatan. Karena diantara mereka juga memiliki perusahaan atau sanak saudara dan kerabat mereka memiliki perusahaan yang dapat dipergunakan untuk mendapat borongan dari Saudagar Kuta Prabu.

Salah seorang dari pegawai kerajaan itu ialah seorang kepala pada salah satu lembaga kerajaan. Ia memiliki sebuah perusahaan penambangan. Melihat kesempatan untuk meraub untung dengan kehadiran saudagar Kuta Prabu bermata sipit itu, ia ikut mengajukan perusahaannya untuk mendapat borongan dari si saudagar bermata sipit itu. Tentunya si saudagar senang, tak perlu melihat riwayat dari perusahaan, karena si pemilik yang merupakan salah seorang petinggi kerajaan sudah cukup untuk menjamin dari kelancaran pekerjaannya.

Borongan yang diberikan oleh si saudagar sipit itu berupa pemasok kebutuhan seluruh bahan-bahan untuk pembangunan labuh besar dikerajaan tersebut. Labuh itu akan menghubungkan tiap negeri dalam kerajaan serta dengan seluruh kerajaan yang berada di pulau ini. Rakyat yang semulanya menentang kini terpaksa diam setelah beberapa orang datuk kepala kampung ditangkap dengan tuduhan berbuat culas dengan uang ganti rugi.

Guna memenuhi kebutuhan tersebut, beberapa buah bukit diambil tanahnya. Seluruh isi kandungan bukit diambil, tak hanya kayu-kayu, tanah melainkan bebatuan juga. Peralatan untuk mengambil tanah dipesan langsung dari Negeri Atas Angin. Negeri yang dahulu permai menjadi hilang keseimbangan alam, entah berapa binatang yang mati dan terusir, entah berapa batang kayu yang ditebang dan alam kehilangan asupan oksigennya, entah..

Yang menyedihkan dari itu semua, anak negeri sendiri yang melakukan itu semua. Saudagar besar hanya mengurus pekerjaan besar yakni membangun kilang dan jalan. Dan mereka hanya menggunakan jasa fihak ketiga untuk memenuhi kebutuhan pekerjaan mereka. Pemilik perusahaan merupakan orang kampung sendiri, demikian juga para pekerjanya. Semuanya pribumi. Mereka tak menyadari kalau mereka tengah dihadap-hadapkan dengan bangsa sendiri.

Penyalah gunaan wewenang oleh petinggi kerajaan bukanlah hal baru, dimana-mana hal itu terjadi. Penumpukan kekayaan pada sekelompok orang yang memiliki akses kekuasaan, jaringan perniagaan, dan berbagai hubungan haram lainnya. Itulah yang mengakibatkan kemiskinan di tengah-tengah rakyat. Apalagi segala hubungan haram itu terjalin untuk menghisap kekayaan negeri.

Pekerjaan terus berlanjut, kendaraan besar lalu-lalang dilabuh mereka. Kendaraan besar yang teramat berat itu mempercepat pengrusakan jalan. Keberadaan mereka yang berlalu-lalang di labuh mereka membuat laju kendaraan acap tergaduh, tak jarang kendaraan mengular hanya demi memberi jalan kendaraan besar itu berbelok. Atau beberapa kendaraan besar berjalan beriringan sehingga kendaraan lain kepayahan menyalip akibatnya terjadi iring-iringan panjang kendaraan yang teramat panjang.

Kedatangan Saudagar Kuta Prabu ini ibarat wabah yang membawa banyak penyakit. Perzinahan antara kekuasaan dan kekayaan telah melahirkan berbagai macam penyakit yang secara perlahan menyebar dan menjangkiti seluruh kerajaan. Fikiran rakyat telah banyak yang teralihkan sehingga mereka tidak menyadari bahaya yang tengah mengancam mendatangi negeri mereka. Pada sebagian dari mereka memandang baik dan membuka tangan lebar-lebar serta memberi tepuk tangan yang sangat meriah sekali kepada Si Saudagar Kuta Prabu. Hanya sebagian kecil yang masih sehat akal, fikiran dan mentalnya, namun mereka berada dalam keadaan yang lemah tak berdaya.

2 thoughts on “Wabah itu bernama Pembangunan

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.