Bahasa ‘Bangets’nya terasa banget

Pict: contoh blog

Gendang telinga kami berdengkang-dengkang tatkala mendengar percakapan dua remaja perempuan yang merupakan anak pe ka el di kantor kami. Satu orang murid es em ka yang tengah menunggu naik kelas dan dua orang mahasiswi sebuah perguruan tinggi negeri di bandar kecil kami. Yang membuat gendang telinga kami berdengkang bukan pembicaraan mereka melainkan bahasa yang mereka pakai. Bahasa Indonesia dengan dialek Betawi, walau mereka tak memakai kata loe & gue namun terasa bangets jakartanya.

Ketiganya ialah orang Minang, si anak es em a berasal dari sebuah kampung tak jauh arah ke selatan dari bandar kecil kami ini. Tepatnya arah menuju ke Danau Si Tinjau yang terkenal dengan kelok ampek puluah ampeknya. Yang satu berasa dari daerah Pesisir tepatnya arah ke selatan pula. Yang ketiga berasa dari arah utara.

Kami salut dengan mereka karena dapat oleh mereka cangkok dialek Betawinya sehingga takkan ada yang menyangka kalau sesungguhnya mereka ialah orang daerah[1] yang tidak memiliki kepercayaan diri dan merasa udik karena dari dusun. Mungkin karena menyadari bahwa mereka berasal dari negeri yang menurut mereka terbelakang makanya mereka berusaha menutupi dengan mempelajari cangkok bahasa Betawi agar hilang dialek asli mereka.

Hampir sebagian besar orang, kami dapati memiliki sesuatu untuk ditutupi, salah satunya ialah asal usul. Mereka tak percaya diri dengan asal usul mereka, kampung mereka yang mereka anggap terpencil. Mereka juga tidak percaya diri dengan adat resam mereka, sehingga berlomba-lomba mengadopsi nilai-nilai dan produk budaya dari Betawi. Kenapa Betawi? Karena bandar besar itu – dalam pandangan kebanyakan orang udik dari tempat yang dinamai oleh orang Betawi dengan nama ‘Daerah” ini – merupakan pusat dari republik, pusat kemajuan, pusat dari kemoderenan, pusat peradaban, dan penghasil budaya populer yang patut untuk ditiru.

Demikianlah, semakin hari anak kamanakan di Minangkabau semakin menjelma menjadi Malin Kundang, Hanafi, atau Muhammad Radjab. Malu dengan Minangkabau; dengan adatnya, dengan bahasanya, dengan kekhasannya.[2] Bagi mereka, adat itu sama dengan budaya[3] dan tak lebih dari pakaian, ritual/upacara adat, musik, tari, makanan, dan lain sebagainya. Mengekor kepada pendapat pusat di Pulau Seberang sana.

Dan yang terburuk dari itu semua ialah semua orang berpandangan bahwa menggunakan Bahasa Indonesia merupakan perlambang dari kemoderenan. Dari kanak-kanak belum berakal hingga orang tua bau tanah yang esok ia akan dishalatkan orang. Kata ‘moderen’ begitu bertuah pada hari ini, dan itu merujuk kepada ‘budaya populer dari betawi’ yang mesti diterima kalau tak hendak ketinggalan zaman atau dicap kampungan atau udik.

Setidaknya demikianlah alam fikiran orang-orang udik di wilayah keamiran kami. Dan walau masih sedikit, masih banyak yang bangga dengan pakaian asli kami, adat resam kami. Semoga sahaja negeri kami tidak tenggelam dalam penyeragaman yang sedang berlangsung. Suatu upaya untuk mengendalikan fikiran setiap orang di negeri ini agar serupa ‘kerbau dicucuk hidungnya’

—————————

Catatan Kaki:

[1] Daerah di republik ini sebenarnya mengacu kepada bagian dari wilayah yang pemerintahannya lebih rendah. Contoh; orang pusat menyebut orang-orang dari provinsi sebagai ‘orang daerah’, orang-orang dari ibu kota provinsi menyebut orang-orang dari kabupaten/kota sebagai ‘orang daerah’. Sebutan ini kemudian mengalami penyimpangan makna sehingga terasa cenderung rasis.

[2] Xenocentrism merupakan suatu sikap di mana seseorang meremehkan budaya sendiri dan sangat mementingkan budaya asing. Selengkapnya baca DISINI

[3] Dari sudut pandang Minangkabau, adat berbeda dengan budaya. Dan kata ‘budaya’ sendiri tidak ada dalam perbendaharaan bahasa orang Minangkabau. Dari sudut pandang Minangkabau, adat itu ialah keseluruhan sistem yang mengatur kehidupan baik itu falsafah, sistem hukum (pidana, perdata, ketatanegaraan), sistem politik (pemerintahan, pertahanan), sistem sosial, sistem budaya, sistem ekonomi, sistem ilmu pengetahuan (teknologi), dan lain sebagainya. Adat tak hanya mengatur soal ritual seperti baralek (kenduri), kematian, kelahiran, dan sejenisnya.

=================

Baca Juga:

  1. Bahasa Kini
  2. Hari Ibu dan Ranah Bunda; Tentang Malin Kundang, Hanafi, Muhammad Radjab, dan KAU

One thought on “Bahasa ‘Bangets’nya terasa banget

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.