Melancong ke Lombok (7): Lado petangpun di tolak

Picture: Here
Picture: Here

Menjelang Ashar mereka baru berangkat dari Gili Trawangan, rencananya mereka hendak mengunjungi Masjid Agung Mataram namun urung karena masih dalam tahap pembangunan. Akhirnya mereka melaju dengan tujuan nan tiada diketahui sebagian besar penumpang.

Alangkah terkejutnya isi oto bus tatkala kendaraan nan mereka tumpangi itu kembali ke kedai nan menjual cinderamata nan telah mereka kunjungi petang hari kemarin. Ada yang berdecak kesal, ada nan diam saja, ada pula nan bersyukur. Sungguh terlalu..

Sepanjang perjalanan di dalam oto bus, pemandu mereka menghidupkan video cd nan memutar lagu-lagu kenangan. Orang-orang nan gedang di tahun 80 dan awal 90an senang sekali, berganti-ganti mereka berkaroke “Sungguh tersiksa awak masa itu engku, untung ada headset nan sedia kami bawa. Kami hidupkan pula lagu nan kami sukai di headset tersebut..” kisah kawan kami

“Lagu apakah nan mereka putar itu engku..” tanya kami penasaran

“Lagu nan selalu sendu nan dinyanyikan oleh om-om nan berasal dari timur, acap ia berduet dengan mantan isteri salah seorang pelakon gaek nan membintangi sebuah drama lawak pada salah satu stasiun tv baru di republik ini. Amat gemar sekali mereka mendengarkan dan mengiringi lagu itu, bahkan disaat oto bus sudah berhenti di kedai cinderamata, bagi nan tiada ikut turut malah sibuk berkaroke di atas bus..” terang St. Rajo Basa.

Ah, tahulah kami orangnya, kamipun tiada pula suka. Langsung hilang semangat kami mendengar suara om itu.

Lepas dari kedai cinderamata mereka langsung bertolak menuju tempat makan malam di sebuah kedai di tepi pantai. Mereka makan di halaman belakang dengan dikawani deburan ombak nan sayup-sayup terdengar, padahal jarak mereka dengan pantai hanya beberapa meter “Wajar ombaknya sayup-sayup terdengar, berlainan dengan ombak di pantai di Padang. Padang langsung menghadap ke Samudera Hindia makanya ombaknya besar dan berdentum sedangkan disini laut mereka tiada langsung menghadap ke samudera..” terang St. Rajo Basa

“Ada satu nan awak sesalkan..” kisah kawan kami ini

“Apa itu engku..” tanya kami penasaran

“Ada seorang engku penjual kain songket nan menawarkan songketnya dengan harga Rp. 125 K. Awak tawar 50 K dia hanya tersenyum menahan kesal. Akhirnya awak tolak, si engku menurunkan menjadi 120 kemudian 115 dan akhirnya 100 K. Awak tetap bersikukuh dengan harga nan awak tawarkan itu. Namun disaat hendak berangkat si engku menurunkan menjadi 80 K, awak hanya tersenyum dan berjalan keluar. Esoknya awak menyesal karena harga nan ditawar si engku itu termasuk murah karena harga songket di kedai-kedai paling murah 150 K..” kenangnya

“Mungkin bukan rezki engku itu..” ucap kami menenangkan.

Akhirnya, sama dengan kemarin mereka mendapati hotel mereka nan megah itu dalam keadaan diselimuti kegelapan. Tiada seorang kawanpun nan dapat dibawanya untuk bersantai di luar sana menikmati kepermaian kawasan hotel dan indahnya malam. Sungguh sangat disayangkan..

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.