Melancong ke Lombok(1); Keberangkatan

Picture: Here
Picture: Here

Tiada menyangka dan tiada dapat dikira-kira, demikianlah kiranya nan berlaku. Sungguh sudah lama mengharap agar dapat berkunjung ke wilayah republik ini nan berada di belahan timur, namun agaknya pengharapan tinggal pengharapan saja. Cukup lama ia menanti namun impian itu tinggal di dunia khayal belaka. Namun kali ini nasib baik agaknya berpihak padanya, walau tiada sampai ke timur namun ia mendapat kesempatan ke wilayah nan berada di tengah. Sudah lama pula ia mendengar perihal negeri nan satu itu namun belum pernah mendapat kesempatan untuk menziarahi.

Mereka hanya mendapat kesempatan selama tiga hari pulang-pergi, St. Rajo Basa pergi bersama lima orang perwakilan dari kantornya. Tiga hari sebenarnya tiadalah cukup namun ia tetap bersyukur mendapat kesempatan melihat negeri nan selama ini dicitakan untuk dilihat. Pukul dua pagi ia sudah berangkat dari rumah diantar oleh adiknya karena mereka harus berkumpul dahulu di kantor sebelum berangkat.

Inilah pertama kalinya St. Rajo Basa berangkat paling pagi dari rumahnya, setibanya di bandara, orang-orang telah ramai hilir mudik. Agaknya bandara ini tiada mengenal waktu istirahat, hanya kedai-kedai di bandara saja yang kebanyakan masih tutup adapun para pegawai bandara telah segeh[1] dan siap menunaikan tugas mereka.

Pukul setengah enam lewat St. Rajo Basa sudah asyik menonton di kursi penumpang di dalam burung besi itu. Nun jauh disana, cahaya matahari pagi tampak memerah di ujung horizon “Serupa ini rupanya matahari terbit apabila dipandangi dari atas..” ucap St. Rajo Basa dalam hati.

Mereka singgah ke bandara di Jakarta dahulu, berpindah pesawat selepas itu baru melanjutkan perjalanan menuju Pulau Lombok di Nusa Tenggara Barat. Kurang dari pukul sebelas mereka dan rombongan telah sampai di Lombok. St. Rajo Basa dan kawan-kawan sebenarnya tergabung ke dalam sebuah rombongan yang anggotanya perwakilan dari beberapa kantor di daerah lain di propinsi mereka. Di bandara tersebut rombongan mereka disambut oleh para pemandu yang telah bersedia memandu mereka selama di pulau itu. Tatkala baru sampai, masing-masing mereka dihadiahi sebuah kain selendang berukuran kurang lebih satu meter. Kain itu ialah kain tenunan hasil karya penduduk Lombok.

Di dalam oto bus yang membawa mereka, sang pemandu yang bernama Engku Ok menjelaskan bahwa bandara tempat mereka berlabuh tadi ialah bandara baru yang diresmikan pada tahun 2012 oleh Presiden SBY. Bandara lama terletak di dalam Bandar Mataram dan sudah tidak dipakai lagi. Bandara itu terletak di kawasan yang bernama Tanah Aua yang bermakna “debu”. Dinamai demikian karena pada musim kemarau acap berdebu karena gersangnya tanah tersebut “Dahulu disini ialah tempat orang kampung mengembalakan ternaknya..” jelas Engku Ok.

Selepas makan tengah hari pada sebuah hotel nan terletak tak jauh dari bandara, oto bus nan mereka tumpangi melaju melalui beberapa perkampungan menuju kawasan kantor pemerintahan tempat tujuan utama mereka. Dalam bus kembali engku Ok menerangkan kalau Negeri Lombok ini mendapat julukan sebagai Pulau Seribu Masjid karena disini hampir setiap kampung memiliki masjid yang indah-indah. Masjid-masjid di negeri ini dibuat dari hasil sumbangan masyarakat dimana sudah menjadi adat negeri pada setiap kali panen masyarakat menyumbangkan sebagian hasil panen mereka untuk pembangunan masjid. Ada juga sebuah masjid yang terdapat dalam Bandar Mataram yang dibangun atas hasil sumbangan para perantau yang bekerja sebagai tenaga kerja di Arab Saudi.

Tak terasa akhirnya St. Rajo Basa akhirnya sampai juga di tempat tujuan pertama mereka..

________________________

Catatan Kaki:

[1] Rapi

5 thoughts on “Melancong ke Lombok(1); Keberangkatan

  1. Lombok…Udah lama gak kesitu. Dulu, 96-an, gerilya dari Sidakarya, Denpasar pake T120Ss, nyebrang pake ferry lama banget, tapi asyik, banyak pemandangan pulau diantaranya Nusa Penida dan Lembongan. Tiba di Lombok, nginap di Hotel Lombok Raya. Eh…malamnya ke Suranadi, seperti di Guci-Tegal hanya pergi makan ikan goreng, bakar dan plecing doang. Pesannya dari jam 11 malam, tiba di sana baru makan sekitar jam 1 malam. Memang disengaja pesan dulu karena memasaknya di anglo pakai arang, hingga renyah ke tulang-tulangnya. Restoran yang unik dan tradisional. Wastafelnya aja dari bambu dan tembikar. Khas banget.
    Perut kenyang, pulang, tidur, paginya ke Senggigi sampai ujung jalan. Disana saya menemukan apa yang disebut nelayan sejati. Nelayan disana nangkap ikan berangkat jam 2 malam, pulang pagi jam 8, bawa hasil tangkapan kadang banyak, kadang sedikit. Padshal mereka sampai berdayung ke Madura. Miris…satu bakul, saat itu rata-rata mereka jual hanya 15 ribuan. Dibeli para tengkulak. Melaut mereka bawa makanan semacam ubi jalar hitam, teh asli Lombok dan daun jagung dengan tembakau super keras sebagai rokok. Saya coba sambil mancing ke tengah 1 km, aduh….asapnya, harum…keras, ini baru perokok ulung. Sambil makan ubi jalar rebus dengan teh punya si bapak nelayan, ikanpun tak satupun saya dapat. Karena saya fokusnya ke wajah bapak nelayan dan rayuan Lombok yang perawan. Padahal saya sudah sewa perahunya lebih mahal dari orang lain. Tapi tidak apa. Bapak ini nyuri waktu balas dendam tangkapan semalam tidak masuk target. Itung-itung amal.
    Besoknya saya ke daerah belakang bandara ke salahsatu klien, melewati padang rumput gajah luas. Rumput buat makanan sapi. Mungkin juga itu tebu.
    Sudah 3 hari beraun-raun sambil kerja, traveling on duty, saya kembali ke Bali naik ferry bersama sapi Presiden (istilah sapi mahal seperti di Padang Mengatas Payakumbuh) yang tingginya melebihi mobil saya. Di sela-sela mobil dan sapi, saya leyeh-leyeh sambil ngopi dan menghisap Marloboro soft di kantin kapal. Sekira 5 jam, saya mendarat di Bali, terus pulang ke Sidakarya.
    Sayangnya, fotonya dikit. Maklum, pilem saat itu mahal. Hp berkodak belum keluar lagi 😀

    Liked by 2 people

Leave a reply to sutan nagari basa Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.