Mengagumi Eliana

Picture: https://www.bukalapak.com
Picture: https://www.bukalapak.com

Eliana, itulah judul roman ke tiga (resminya ke-4) nan di karang oleh Pujangga Tere Liye. Roman nan mengisahkan kehidupan si sulung dari empat bersaudara nan bernama Eliana, seorang gadis nan mewarisi watak keras dan kritis bundanya. Merupakan nan terpandai di kelas serta juga nan paling keras hati diantara adik-adiknya. Pada roman ini tuan pengarang berusaha membawa kita ke luar dari dunia kanak-kanak nan masih penuh dengan tertawa riang dan masih hirau dengan urusan dunia orang dewasa.

Investor, eksplotasi, kerusakan alam, dan premanisme itulah nan dipaparkan dalam roman ini. Sesungguhnya kami sedih membacanya karena untuk ukuran anak es-de kelas enam, dunia mereka sudah terlalu rumit. Ancaman para pemodal nan mengganggu kampung mereka, perlawanan nan mereka lakukan sampai berkorban nyawa.

Kalau pada Roman Pukat kita diberitahu kearifan lokal penduduk kampung nan melakukan pembakaran hutan untuk membuka ladang. Sesuatu nan dipandang buruk karena dalam anggapan kita nan tinggal di Pulau Sumatera ini, hal tersebut merupakan salah satu penyebab kabut asap. Pada roman tersebut Tuan Tere Liye memaparkan dengan baik bagaimana jalannya pembakaran tersebut. Mesti dibuat pengaman antara perak nan hendak dibakar dengan kawasan hutan lainnya agar api tiada menyebar membakar hutan. Secara bergotong-royong para petani tersebut mengelilingi perak nan akan dibakar, menjaga agar tiada pindah api itu ke hutan.

Kini, dalam Roman Eliana, Tuan Tere Liye memperlihatkan kepada kita betapa tak hanya satu atau dua akibat yang ditanggung oleh penduduk setempat atas kerusakan alam nan disebabkan oleh para kapitalis. Sungai yang abrasi mengancam perak-perak penduduk yang terletak di tepinya, ikan-ikan nan jadi berkurang, hewan-hewan hutan yang dapat jadi buruanpun hilang, air yang merupakan sumber kehidupan tercemar, dan lain sebagainya.

Eloklah kami sertakan salah satu petikan penjelasan Engku Syahdan kepada anak perempuan sulungngnya:

Mereka orang-orang yang kukuh menjaga hutan leluhur. Ketika akhirnya setelah ratusan tahun hidup damai, perkebunan kelapa sawit tiba di kampung mereka. Orang kota hanya bilang mengambil hutan terlantar, padang rumput gersang, lahan-lahan kritis. Itu dusta, alat-alat berat justeru dikirim ke hutan-hutan terbaik. Penduduk kampung mati-matian menolak. Percuma, kekuatan orang kota jauh lebih besar dibandingkan yang mereka bisa bayangkan.
Hutan lebat satu persatu musnah. Pohon-pohonnya ditebang, dibawa dengan truk-truk. Entah dijual kemana gelondongan kayu tak ternilai itu. Hutan tempat mereka mencari kehidupan binasa dalam hitungan hari. Maka ketika mereka tak kuasa lagi melawan baik-baik, mereka memutuskan membakar sendiri hutan itu. Menjadikannya ladang-ladang. Setidaknya mereka gunakan sendiri sebelum dirampas orang lain. (Hal.334)

Demikianlah Eliana, tumbuh gedang dengan kesumat besar terhadap ketidak adilan, kesewenangan penguasa, intaian para kapitalis yang entah semenjak bila telah menjajah negeri ini. Seorang kawannya mati muda karena melawan seorang diri para kapitalis itu, ia dan tiga orang kawannyapun hampir pula dijadikan alat oleh kapitalis untuk menjajah kampungnya.

Perlawanan Eliana patutu kita tiru, manakan ada anak es-de pada masa sekarang nan berkeinginan kuat melawan ketidak adilan. Jangankan kanak-kanak nan masih memakai seragam putih-merah itu, anak-anak nan lebih gedang hingga orang dewasa sekalipun tiada peduli bahkan ikut membantu para kapitalis itu atas nama kesempatan kerja bagi anak negeri.

2 thoughts on “Mengagumi Eliana

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.