Apabila diperdengarkan kepada kami kata-kata “Sariak atau Nagari Sariak” maka kami tiada merasa asing mendengarnya. Namun kami tiada ingat bila dan dalam keadaan serupa apa mendengarnya. Sampai pada suatu ketika kami membaca sebuah tulisan di salah satu blog yang menerangkan Orang Sariak ini. Rupanya Sariak ialah nama sebuah nagari di Luhak Agam yang cukup terkenal di kalangan orang Agam dan Minangkabau. Nama nagari mereka acap disebut-sebut pada pantun ataupun pepatah serta lagu. Demikianlah Urang Sariak (Orang Sariak).
Nagari Sariak terletak di Kecamatan Sungai Pua Kabupaten Agam, berjarak sekitar 10 Km dari Bandar Bukit Tinggi dan termasuk kepada nagari-nagari yang berada di kaki Gunung Marapi. Berbatasan dengan nagari Sungai Pua yang terkenal dengan keahliannya mengolah logam. Adapun dengan Urang Nagari Sariak terkenal dengan keahlian mereka sebagai Tukang Patri hal mana kemudian mengantarkan mereka menjadi Ahli dan Pedagang Barang Antik.
Kisah asal-muasal Orang Sariak menjadi Pedagang Antik sungguhlah jenaka, berawal dari salah seorang Tukang Patri yang kena hadang dan ditanyai oleh Belanda. Disangka Si Tukang Patri ia kena razia rupanya serdadu Belanda itu tertarik meilhat barang-barang yang dibawa oleh Si Tukang Patri. Salah satu barang ditawar dengan harga tinggi, tercenganglah Si Tukang Patri. Bahkan sebelum pergi serdadu Belanda tersebut sempat pula berpesan kalau ada barang serupa itu lagi, lekas diberi tahu dan akan dibeli dengan harga tinggi.
Demikianlah nasib baik menghampiri Orang Sariak, kisah tersebut segera menyebar dan berlomba-lombalah mereka dalam mencari dan mengumpulkan barang yang menurut Orang Belanda “Antik”. Sungguh pandir Orang Belanda itu, barang bekas dibeli dengan harga mahal.
Karena membaca kisah serupa itu, kami menjadi tertarik hendak menziarahi Nagari Sariak. Maka pada hari kelima bulan Ramadhan 1437, selepas menuruni lereng Gunung Merapi kami dibawa singgah oleh Kawan kami Katik Rajo Agam ke Nagari Sariak. Niat semula hanya sekadar lalu saja, namun tatkala kami melihat sebuah masjid nan sangat khas sekali rancang bangunnya (arsitektur) maka kami putuskan untuk berhenti.
Masjid Syuhada namanya, terletak di tepi Tabek Sariak.[1] Menurut kisah nan kami dapatkan ialah kolam ini berawal dari mata air yang memancar keluar dari dalam bumi, tergenang, dan kemudian menjadi tabek. Masjid ini memiliki sejarahnya pula, didirikan oleh seorang ulama di atas tanah milik kaumnya. Masjid ini didirkan secara bergotong-royong oleh Masyarakat Nagari Sariak ketika itu dengan mengambil rancang bentuknya (arsitektur) ialah khas Minangkabau dengan sebuah menara adzan (minaret). Dimasa gempa besar Padang Panjang tahun 1926, menara adzan masjid ini roboh sebagian.
Tiada kami ketahui kapan masjid ini direnovasi menyeluruh karena pada foto yang bertahunkan 1935 bentuk masjid telah berubah menjadi bangunan permanen. Dan masjid yang terdapat pada gambar di ataslah yang kami dapati tatkala datang melancong pada hari kelima bulan Ramadhan 1437 H ini namun tentunya dengan beberapa perbedaan serupa telah diberi cat dan terdapat pula kanopi yang menghubungkan kubah kecil dengan minaret.
Terdapat beberapa bangunan baru pada kawasan masjid baru atau bangunan lama telah ditukar dengan bangunan baru. Konon kabarnya bangunan bertingkat dua tersebut ialah madrasah tempat anak-anak mengaji. Masjid dan bangunan madrasah dengan latar Tabek Sariak ini sungguh sangat menawan hati “Tengoklah engku, airnya jernih..” seru Katik Rajo Agam.
Kami pandangi, memang jernih, kemudian kami layangkan pandangan ke sekitar, kamipun heran. Sebab air dari tabek ini mengalir ke arah tempat wudhu masjid namun kami tiada mendapati ada sungai atau saluran air yang mengarah ke tabek tersebut “Dari manakah datangnya airnya ini engku..” tanya kami kepada kawan kami tersebut.
“Ini ada mata airnya engku? di dalam tabek ini..” jawab Katik Rajo Agam “Tengoklah engku, betapa jernihnya..”
Kamipun terheran dan kagum namun hanya sejenak sebab keadaan tabek ini sungguh tiada terawat. Terdapat semacam busa yang mengapung di atas permukaan air di dalam tabek tersebut. Hal ini sungguh merusak pemandangan “Itu apa engku..?” tanya kami kepada kawan kami ini.
Katik Rajo Agam agak terdiam, hilang akalnya sebab dia sendiri tampaknya juga kurang tahu mengenai hal tersebut. Akhirnya, kami nan bertanya kami pula nan menjawab “Mungkin karena tumbuhan nan ada di dalam tabek ini ya engku..”
“Iya mungkin..” jawab kawan kami ini lega.
Cukup lama kami mengamati dan mengambil gambar masjid ini. Ada yang aneh rasanya pada bangunan masjid bertingkat dua ini. Keanehan pertama ialah bangunan menaranya yang pada bagian puncaknya tidak beratapkan kubah melainkan beratapkan serupa atap menara yang ada di Tanah Jawa kalau kami tengok dari arah bawah. Kemudian bangunan masjid memiliki ragam arsitektur khas Eropa, kalau kami tiada salah. Tampak pada bagian fasad bangunan apabila kita tengok dari arah muka.
_______________________________________
Catatan Kaki:
[1] Tabek berarti Kolam jadi artinya Kolam Sariak
___________________________________________
Baca Juga:
[a] http://aswilnazir.blogspot.co.id/2011/11/menguak-tabir-asal-muasal-urang-sariak.html
[2] http://nagarisariaksungaipua.blogspot.co.id/2011/08/mesjid-syuhada-sariak-salah-satu-mesjid.html
[3] http://kicauansariak.blogspot.co.id/2014/04/sekilas-riwayat-berdirinya-masjid-sarik.html
[4] https://www.facebook.com/minangkabau.heritage.01/photos/a.1026386317390645.1073741828.1026384320724178/1250192015010073/?type=3
_________________________________________________________________________
Tambahan Gambar:
[1] Tampak Muka Masjid
[2] Tampak Samping
[3] Jendela Masjid
[4] Sudut
[5] Madrasah
Nan bergonjong dan berukir ini kami tiada tahu bangunan apa:
[6] Bangunan madrasah dari seberang tabek
[7]
URANG SARIAK babaju ganiah
pai manggaleh ka padang lua
iyo sarik ba ayam putiah
kok indak sikok alang menyemba
antah iko nagari nan dimaksud dalam lagu lirik lagu ko..
LikeLike