Kenangan 17 Agus

Ilustrasi Gambar: Internet*
Ilustrasi Gambar: Internet*

Tatkala sedang berjalan-jalan petang mengantar isteri di kawasan sekitar perumahan mertua kami di Kota Padang, kami bersua dengan seorang kanak-kanak yang dengan semangat memacu kareta[1] bmxnya. Tampak bendera kecil yang dipasang di stang[2] karetanya berkibar-kibar ditiup angin. Sejenak pemandangan serupa itu membawa kami kembali ke masa silam, masa kanak-kanak kami.

Dahulu, semasa kanak-kanak kami dan kawan-kawan juga suka memasang bendera merah-putih di stang kareta kami. Kemudian kami akan memacu kareta kami kencang-kencang sehingga bendera kecil tersebut berkibar-kibar ditiup angin. Senang hati kami dibuatnya.

Ada yang dibuat dari kertas minyak, dilemkan pada sebatang lidi dan kemudian diikatkan pada stang kareta. Ada jua yang sengaja menjahitnya dari kain, meikatkannya pada jari-jari kareta yang tak dipakai dan kemudian di ikatkan di stang kareta. Bendara tersebut ada yang dijahitkan oleh bunda mereka di rumah dan ada jua yang dijahitkan oleh tukang jahit di kampung kami. Kami termasuk yang benderanya dijahitkan oleh tukang jahit di kampung. Kami disuruh mencari kain bekas di tempat si engku tukang jahit membuang kain-kain bekas pemotongan miliknya, kain tersebut disimpan dalam sebuah kardus di bawah meja tempat si engku mengukur kain sebelum dipotong. Selepas itu baru si engku akan menolong kami menjahitkan bendera, tak dibayar, bahkan terkadang beberapa kami terlupa mengucap terima kasih kepada si engku, dasar kanak-kanak.

Bendera nan dijahit serupa itu terkadang juga diikatkan oleh pemilik kendaraan bermotor lainnya di kendaraan mereka. Serupa pengendara onda[3] akan mengikatkan bendera tersebut di stang onda miliknya. Pemilik oto[4] akan memasangkannya pada antena radio yang terdapat di sisi samping otonya, atau pada sweeper penyapu air hujan di kaca oto mereka, atau memasangnya di dalam oto, apakah itu di kaca spion dalam, atau pada bagian lainnya.

Beberapa tahun kemudian peran tukang jahit digantikan oleh penjual bendera yang selalu hadir menjelang tujuh belas Agustus di jalan-jalan besar ataupun di simpang (perempatan) Lampu Merah. Dan hal serupa berjalan terus hingga kini.

Kejadian yang demikian itu sudah tak kami alami lagi begitu lepas dari Es-De, tepatnya tak lagi kami lakukan. Sudah jarang bermain kareta keliling kampung ditambah begitu sekolah bertukar maka kawan-kawanpun banyak yang bertukar. Banyak penyebabnya, karena sekolahnya sudah berlainan maka merekapun sering main dengan kawan satu sekolah, atau karena pindah tempat tinggal[5], atau karena sudang bosan bermain dengan kami.

Dan kami dapati kejadian yang kami alami tak begitu banyak dilakukan kanak-kanak sekarang, mungkin karena mereka sudah jarang main kareta bersama kawan-kawannya, anak-anak sekarang lebih senang main PS atau Game Online di warnet. Atau karena Pendidikan Moral Pancasila sudah dihapuskan dan ditukar dengan Pendidikan Kewarganegaraan, dan sekarang kami sudah tak tahu lagi bagai mana nasibnya. Atau karena Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Penataran P4) sudah dihapuskan? Entahlah, kami juga tiada faham.

Yang paling membuat kami kesal ialah kotak ajaib yang ada di setiap rumah penduduk, yang punya stasiun membuat acara yang bertemakan kemerdekaan namun hanya judulnya saja. Inti acara masih tetap sama yakni hura-hura dan jauh dari nasionalisme ataupun pengenalan dan pendidikan terhadap sejarah bangsa.

*http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/08/17/nt7e10361-70-tahun-merdeka-indonesia-masih-dijajah

[1] Sepeda

[2] Kemudi

[3] Motor

[4] Mobil

[5] Biasanya ikut orang tuanya merantau

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.